Ga
kerasa sepuluh hari sudah akoe dan Dinar tinggal di Labanan. Jauh dari hingar bingar Samarinda dan segala
keruwetan lalu lintas khas perkotaan.
Kabarnya
sekarang malah lagi musim banjir di sana, gara-gara si Komo lewat, eh bukan,
gara-gara hujan terus beberapa hari ini, kata seorang sumber terpercaya yang akoe
ga mau sebutkan namanya di sini. Akoe yang ga mau, bukan orangnya yang ga mau… Ho ho…
Padahal udah enak-enak "banjir" buah eh, giliran dapet banjir air pulak.
Nasib
yang tinggal di kota tapi sengsara nian… Kasihan anak-anak yang ga bisa sekolah
karena sekolahnya kebanjiran… Yang pergi kerja jadi terhambat aktifitasnya, gara-gara banyak
jalan yang ga bisa diakses juga karena terendam air yang cukup dalam. Ibu-ibu
jadi susah mau belanja karena Mas-mas yang jualan sayur ga bisa datang menjangkau
rumah para langganan mereka, yang ini sih lumayan deh bisa dijadiin alasan buat yang
sebenernya lagi emang males masak, hi hi..
Ada
sebagian warga yang mesti deg-degan takut rumahnya jadi kolam "waterpark" dadakan tiap kali hujan
turun. Musim hujan begini alamat bakalan sering kerja bakti buat ngebersihin
rumah. Kondisi lain lagi dialami buat yang daerah rumahnya ga tersedia rute
alternatif kaya rumah Kai di daerah Suryanata.
Kalo rumahnya sih ga mungkin kebanjiran karena ada di daerah bukit, tapi jalan menuju rumah itu yang biasanya ada 2-3 titik yang langganan banjir. Hujan deras dikit aja, bisa dipastikan jadi banjir dan bikin macet. Kalo udah gitu, pilihannya cuma menerjang banjir atau muter lewat Tenggarong sono…
Kalo rumahnya sih ga mungkin kebanjiran karena ada di daerah bukit, tapi jalan menuju rumah itu yang biasanya ada 2-3 titik yang langganan banjir. Hujan deras dikit aja, bisa dipastikan jadi banjir dan bikin macet. Kalo udah gitu, pilihannya cuma menerjang banjir atau muter lewat Tenggarong sono…
Ga
pernah segila itu sih pake muter lewat jalan lama Samarinda-Tenggarong.. Jauh
banget, bo! Apalagi semenjak Jembatan Kutai Kartanegara roboh, aksesnya jauh
lebih ribet lagi dong…
So, just forget it
lah, ok…
Kalo
diingat-ingat, selama akoe tinggal di rumah itu sejak awal tahun 2000-an, sudah
beberapa kali terpaksa melewati banjir
yang cukup dalam. “Rekor” tertinggi sekitar 40 cm, untungnya ga pernah ngalami
mesin mati pas lagi berjuang melewati banjir. Puas pake motor ‘sayap merah”,
pokoknya… Ehmmm…
Setiap tahun kondisi yang sama terus berulang, bahkan cenderung makin parah. Asal hujan deras langsung banjir. Membuktikan memang ga ada tindakan yang secara nyata bisa mengatasi hal tersebut. Bahkan ada temen FB yang nulis joke satir di statusnya, mengajak warga Samarinda untuk segera mempertimbangkan punya rakit pribadi. Maknanya, tiap kali banjir mobilitas tetap bisa berjalan dengan adanya rakit tersebut.
Oh, nooooo...
Kalo udah mikirin
hal-hal begini, akoe langsung kebayang masa depan Dinar… Semenjak jadi orang
tua jadi lebih mikiiirrr aja bawaannya ya, he he… Itu otomatis bro, ya sesuatu
yang wajar sih sepertinya. Justru kalo cuek dan cenderung ga perduli itu yang
mesti dipertanyakan bagaimana perasaan sayang dan dimana rasa tanggung jawabnya
pada orang-orang terdekat. Betullll????
Kepikiran bahwa nanti
anakku akan tinggal dengan situasi dan kondisi ga nyaman seperti ini.. dan kalo
ga ada tindakan perbaikan yang secara nyata bisa membuat keadaan menjadi lebih
baik, 10-20 tahun lagi segalanya akan makin memburuk.. Kasian anak-anak
Indonesia yang ga punya pilihan selain menerima
segala ketidaknyamanan yang diwariskan oleh para pendahulu mereka..
Sebagai warga negara yang
baik dan menyadari tentang pentingnya kebersihan lingkungan akoe sudah
berpartisipasi dengan selalu membuang sampah pada tempatnya, sebungkus permen
pun akoe ga pernah buang di jalanan. Mengurangi pemakaian barang-barang
kebutuhan rumah tangga yang menghasilkan tumpukan sampah juga sudah. Tapi,
sepertinya ga cukup semua usaha itu…
Ada masalah lain yang akoe pikir sudah
diluar kemampuan diri ini. Maybe, yang namanya struktur pembangunan di
Samarinda yang ga ramah lingkungan, mekanisme saluran air yang ga sesuai
dengan kondisi yang dibutuhkan, adanya proyek penambangan batu bara yang lokasinya membuat hutan (dimana ada pohon-pohon yang seharusnya bisa menahan air saat hujan) jadi semakin minim, warga membangun rumah dengan pondasi permanen di kawasan dimana seharusnya air bisa mengalir lancar.
I guess, itu semua lah yang bikin Samarinda rawan banjir
seperti sekarang.
Hufffffftttt…
Kalo analisa akoe ada yang benar, harusnya solusinya bisa cepet dilaksanakan dong ya, kan penyebab sudah diketahui. Tapiiiiii, justru disitulah masalah yang sebenarnya. Pemerintah yang ga tegas dan keukeuh untuk mengajak warga dalam berperan serta aktif bersama bahu-membahu mengatasi masalah banjir.
Susah sih emang kalo mesti nunggu diajak baru bergerak. Harusnya kita sendiri yang aktif melakukan upaya perbaikan, nunggu pemerintah bisa-bisa Samarinda kerendam kaya Thailand.
Buktikan kalo kita mampu melakukan perubahan, supaya para pejabat itu malu bahwa mereka yang digaji tiap bulan untuk mikirin masalah rakyat justru ga bisa ngapa-ngapain.
Buktikan kalo kita mampu melakukan perubahan, supaya para pejabat itu malu bahwa mereka yang digaji tiap bulan untuk mikirin masalah rakyat justru ga bisa ngapa-ngapain.
Ayo, Indonesia Bisa!
0 komentar:
Posting Komentar